Bila masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak dirubah sistem perekrutan dan pengirimannya, pemerintah akan terus menuai masalah. Pasalnya, penanganan TKI, termasuk Tenaga Kerja Wanita (TKW)-nya, diperlakukan sebagai komoditas dan bukan sebagai manusia. Demikian dijelaskan oleh Ketua LSM Kontrol Sosial Obyektif, Drs Anggoro Suprapto, didampingi Sekjennya, Aries Kunarto MK, di Semarang, Jawa Tengah, kemarin.
“Akibatnya, yang terjadi bukan pengiriman TKI, tetapi perdagangan TKI,” tuturnya. Ditambahkan, penanganan TKI yang dulu dipegang Depnaker di masing-masing Dati II, dengan adanya undang-undang No.39/2004, penanganannya diserahkan kepada Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), yang kini berubah menjadi PPTKIS (Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta).
Namanya saja perusahaan, tentu saja berlaku hukum perusahaan yaitu mencari profit yang sebesar-besarnya, dan kemudian berusaha keras jangan sampai merugi. Akibatnya dari perekrutan sampai pengiriman, sarat dengan hukum perdagangan. Dari cara merekrut TKI, PPTKIS tidak terjun sendiri ke daerah kantong-kantong TKI, melainkan lewat Petugas Lapangan (PL) dengan cara “membeli”-nya.
Sudah menjadi rahasia umum, sekarang ini untuk bisa mendapatkan seorang TKI, khususnya tenaga untuk non-formal (pembantu rumah tangga), PPTKIS harus mengeluarkan dana dari Rp 6 juta sampai Rp.7,5 juta per-orangnya ke PL. Kalau tidak mau, tidak akan mendapatkan TKI. Di daerah-daerah kantong TKI di Jateng, semuanya sudah dikuasai para PL. Mereka bisa menguasai, karena dekat dengan keluarga TKI yang akan direkrut, dan pandai membujuk-rayu. Dalam masalah ini, PPTKIS dibuat tidak berdaya dan mau tidak mau harus lewat jasa PL.
Bahkan untuk menarik simpati PL, pihak PPTKIS tidak segan-segan untuk memberikan kendaraan roda dua terbaru, agar PL bisa terikat dan mau “setor” calon TKI ke perusahaannya. Disamping membelikan kendaraan, pihak perusahaan pengerah TKI juga memberikan pinjaman uang, dan lain-lain pada PL yang bersangkutan, karena PL dalam sistem perekrutan ini sangat menentukan.
Disamping mengeluarkan dana untuk PL yang tidak sedikit, TKI yang ditampung pihak PPTKIS, juga memerlukan dana yang tidak sedikit pula. Biasanya mereka ditampung antara satu bulan sampai 3 bulan lebih. Kalau per-hari memerlukan dana Rp.50 ribu, untuk makan tiga kali, air bersih, listrik, telepon dan lain-lain, bisa dihitung sendiri ongkos yang harus dikeluarkan.
PPTKIS juga harus mengeluarkan dana untuk medical test, paspor, asuransi, pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) yang sekarang istilahnya sudah berubah, dan lain-lain. Belum ongkos untuk “oknum aparat” yang sekarang ini terus mengintai para PPTKIS di Jateng. Salah nulis usia, atau ada ketidakberesan sedikit saja, bisa langsung ditahan. Kalau tidak “menebus” tidak dilepas. Dana untuk menebus ini tidak sedikit. Sekali ada kasus, bisa mencapai antara Rp 50 juta sampai Rp 500 juta, tergantung negonya.
Dana tebusan ini dibenarkan Ketua Ajaspac (Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman TKI Asia-Pasific) Jateng, M. Yunus. Kalau ada anggotanya yang ditahan, dia biasanya yang diminta tolong untuk bernegoisasi dengan oknum aparat. “ Dana sedikit apa mau, Mereka menetapkan tariff tinggi. Ini juga merupakan salah satu factor yang membuat saya tidak tahan usaha di PPTKIS. Saya mau beralih profesi saja,” tambahnya.
Pada akhirnya semua kost yang dikeluarkan itu, semua dibebankan pada TKI-nya juga. Jadi ada kesan, TKI untuk “perdagangan”, lalu dijual ke Agen-agen TKI di luar negeri dan selanjutnya oleh agen dijual lagi ke majikan pengguna. Oleh karena itu, menurut Anggoro Suprapto yang puluhan tahun ikut berkecimpung di dunia per-TKI-an, kalau mau baik, pengiriman TKI ke luar negeri jangan menggunakan “hukum dagang”, harus menonjol aspek sosialnya.
Menurut dia, kalau mau lebih menonjolkan aspek sosialnya, ya harus ditangani Negara. Untuk itu dia mengusulkan, perekrutan TKI sebaiknya ditangani kepala desa. Para calon TKI bisa mendaftar lewat RT/RW, diteruskan ke kepala desa masing-masing, lalu diproses lagi di masing-masing Disnaker Dati II, trus ke Disnaker Propinsi. “Lah kalau tidak lewat Disnaker, pekerjaan lembaga itu apa? Kan menangani tenaga kerja juga,” tambahnya.
“Buat Pak SBY, hapus saja PJTKI, ganti dengan Disnaker, biar tidak terjadi perdagangan TKI, ” usulnya. Sementara itu Ketua Ajaspac Jateng M. Yunus, yang di Jateng punya anggota sekitar 600-an anggota, mengatakan, perdagangan TKI sekarang ini sudah tidak prospek lagi karena banyaknya masalah. Bahkan beberapa PPTKIS anggotanya di beberapa daerah, banyak yang beralih profesi.
“Di Cilacap, Wonosobo, Pati dan beberapa tempat, justru di daerah kantong-kantong TKI yang potensial, para PPTKIS anggotanya lapor kalau berganti profesi. Ada yang buka rumah makan Padang, buka usaha karaoke keluarga, dan lain-lain. Saya sendiri juga merencanakan hal yang sama,” tutur Yunus menutup pembicaraan. (wawan)
--------------------------------------------------
REVISI UNDANG-UNDANG TKI
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendorong untuk dilakukan revisi UU Nomor 39 Tahun 2004 terkait penyelesaian masalah perlindungan tenaga kerja Indonesia, khususnya tenaga kerja wanita di luar negeri.
"Yang kita dorong ialah revisi UU Nomor 39 Tahun 2004. Ini sangat penting, kalau undang-undang itu tidak direvisi maka tenaga kerja di luar negeri tidak maksimal," kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar, ketika dimintai tanggapannya tentang adanya TKI yang dihukum pancung, Ruhyati, di Kota Bandung, seperti dilansir Media Indonesia Online, baru-baru ini.
Menurutnya, dalam UU tersebut tidak dijelaskan secara detail tentang perlindungan hukum terhadap para TKI, khususnya tenaga kerja wanita yang bekerja di luar negeri.
"Karena di dalam UU itu perlindungannya hanya disebut 9 pasal, lebih kepada masalah penempatan. Soal perempuan juga hanya satu kata bahwa perempuan hamil tidak boleh jadi TKI," kata Linda.
Ia mengatakan, dalam permasalahan pengiriman dan perlindungan TKW ke luar negeri, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), ada di dalam tim bersama Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
"Posisi kita ada di dalam tim bersama kementerian terkait seperti Kemenlu dan Kemenakertras. Tapi posisi utama dalam masalah TKW di luar negeri ada di tangan Kemenakertras," kata Linda Gumelar.
Secara pribadi, kata Linda, pihaknya mengaku terkejut dengan adanya salah satu pahlawan devisi Indonesia yang dihukum pancung di Arab Saudi.
"Jadi memang prosesnya kita sangat terkejut dan kita sudah melakukan protes melalui Pak Menlu," kata Linda.
Pihaknya berharap, dengan adanya kejadian Ruhyati, diplomasi antara negara Indonesia dengan Arab Saudi bisa lebih diperkuat. "Dan saya berharap bahwa sebelum ini sudah ada komitmen dengan pemerintah Arab Saudi dan tentu dengan adanya kasus ini perlu diperkuat lagi, sehingga dengan diplomasi yang baik perlindungan yang baik diharapkan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia bisa lebih ditingkatkan," kata Linda Gumelar. (wawan)
PortaL : Obyektif news dan networkpantura